Mengintip Angka 7T Makan Bergizi Gratis yang Dibidik BRI

Zoreen Muhammad

Tujuh triliun bukan angka main-main. Apalagi kalau itu bukan berasal dari bisnis properti, bukan tambang, bukan fintech, tapi dari nasi, sayur, telur, dan dapur-dapur kecil di balik sekolah dasar. Ya, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang semula dipandang sebagai program sosial biasa kini terungkap sebagai ladang ekonomi baru yang diam-diam sedang dibidik serius oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Tidak banyak yang sadar bahwa di balik piring makan siang siswa SD, ada transaksi senilai ratusan miliar yang terjadi setiap bulan. Dan BRI, sebagai bank dengan jangkauan operasional paling luas di Indonesia, tahu betul cara menyusup ke dalam ekosistem itu—bukan sebagai penonton, tetapi sebagai arsitek. Semua diawali dari langkah kecil: mendekati satuan pelaksana MBG yang disebut SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi).

Jumlahnya belum besar, baru sekitar 1.200 titik di seluruh Indonesia. Tapi jika dikalikan dengan pekerja, sekolah, siswa, petani, UMKM, dan guru yang terlibat, skala dampaknya bisa mengguncang desa-desa yang selama ini hidup dalam ekonomi informal.

Mari kita lihat angka-angkanya secara gamblang. Dari 1.200 SPPG, rata-rata ada 50 pekerja (ASN dan Non-ASN). Itu artinya 60.000 orang yang tiap bulan menerima gaji, sebagian besar melalui rekening BRI. Bila gaji rata-rata per orang Rp2,5 juta, maka total per bulan mencapai Rp150 miliar. Dan ini hanya satu komponen.

SPPG juga belanja bahan makanan ke supplier lokal, koperasi, atau UMKM setempat. Belanja rata-rata Rp20 juta per SPPG, berarti Rp24 miliar per bulan. Kemudian ada biaya sewa dapur, rerata Rp5 juta per titik, menambah Rp6 miliar lagi. Totalnya: Rp180 miliar tiap bulan. Dalam setahun, angka itu melonjak ke Rp2,16 triliun. Dan itu baru transaksi langsung yang bisa diendus BRI lewat skema payroll, escrow, dan pinjaman produktif.

Tapi ceritanya tidak berhenti di situ. MBG ini bukan sistem satu arah. Ia menciptakan ekosistem ekonomi yang saling berkait dari hulu ke hilir. Dari petani yang menanam sayur untuk dapur sekolah, sampai guru yang menerima payroll di rekening bank, semuanya masuk ke dalam orbit yang sama.

Ambil contoh petani. Bila satu SPPG menyerap hasil dari lima petani atau kelompok tani, maka ada 6.000 petani yang terlibat. Mereka butuh dana untuk bibit, pupuk, logistik, dan kadang butuh kredit kecil untuk menutup modal kerja. Rata-rata belanja Rp3 juta per bulan, berarti ada Rp18 miliar uang yang berputar hanya dari hulu pertanian.

Lalu koperasi atau UMKM. Rata-rata tiga unit usaha terlibat dalam penyediaan bahan makanan di tiap SPPG. Mereka olah telur, potong ayam, siapkan bumbu, atau sekadar jadi supplier bahan pokok. Biaya operasi mereka sekitar Rp5 juta per bulan, setara Rp18 miliar lagi. Semua itu masuk ke radar BRI, yang menyediakan fasilitas onboarding ke e-katalog LKPP, buka rekening, bahkan ajukan kredit mikro.

Itu belum termasuk sisi hilir. Sekolah yang menerima makanan MBG biasanya sekitar empat per SPPG. Maka ada sekitar 4.800 sekolah yang ikut serta. Jika tiap sekolah punya 300 siswa, maka total penerima makan siang gratis mencapai 1,44 juta anak. Mereka memang tidak bertransaksi langsung, tapi kehadiran makan siang memicu belanja tambahan: jajan, minuman, pembelian kecil di kantin. Kalau dihitung Rp50.000 per siswa per bulan saja, artinya ada Rp72 miliar yang bergerak.

Seseorang sedang menggenggam uang pecahan 100 ribu rupiah (unsplash)

Guru dan staf sekolah pun tidak luput dari ekosistem ini. Rata-rata 20 orang per sekolah, artinya 96.000 orang. Dengan gaji rata-rata Rp3 juta dan sistem payroll di BRI, maka arus masuk bisa mencapai Rp288 miliar per bulan. Uang itu tidak diam—mereka bisa ambil kredit, buka tabungan, gesek QRIS, dan ikut program konsumer BRI lainnya.

Kalau semua angka ini dijumlahkan—dari gaji pekerja SPPG, belanja bahan baku, sewa dapur, petani, UMKM, guru, sampai siswa—maka total perputaran uang per bulan mencapai Rp576 miliar. Dalam setahun? Menyentuh Rp6,912 triliun. Inilah angka tujuh triliun yang sedang dibidik diam-diam oleh BRI, bukan lewat promosi heboh, tapi dengan menyusup ke sistem negara yang paling membumi.

Skemanya pun tidak rumit. BRI tidak sekadar buka cabang lalu pasang spanduk. Mereka mengerahkan mantri, RM SME, dan tenaga pemasar untuk turun ke lapangan, melakukan pemetaan bisnis di tiap SPPG. Mereka buat sistem escrow untuk kontrak sewa dapur. Mereka fasilitasi kredit investasi dapur—baik yang dibangun di atas tanah milik sendiri maupun tanah sewa. Bahkan BRI siapkan klausul kontrak notariil agar sewa dapur tidak bisa dibatalkan sepihak. Semua rapi, formal, dan bisa dijadikan dasar pembiayaan.

Di sisi hilir, sekolah dibekali QRIS, BRIVA, dan sistem digitalisasi transaksi. Guru dan staf sekolah diarahkan ke BRIMO dan payroll. UMKM diberi fasilitas onboarding LKPP agar bisa ikut pengadaan formal. Petani dan koperasi dibimbing untuk punya rekening resmi dan riwayat transaksi yang bisa dinilai kreditnya. Inilah inklusi keuangan yang nyata: bukan sekadar buka rekening massal, tapi mengubah sistem transaksi sosial menjadi sistem ekonomi modern.

Apa implikasinya bagi BRI? Mereka sedang membangun pasar baru yang masif dan loyal. Bukan korporasi besar, tapi jutaan pelaku ekonomi mikro yang masuk ke sistem formal dengan potensi pertumbuhan stabil. Kredit lancar, karena didukung kontrak negara. Tabungan bertambah, karena transaksi terdistribusi luas. Fee-based income meningkat, karena semua transaksi digital memakai jaringan BRI.

Dan implikasinya bagi negara? Dana publik yang sebelumnya hanya mengalir dalam bentuk konsumsi kini menciptakan multiplier effect. Setiap rupiah yang keluar untuk MBG menciptakan rantai nilai—membiayai petani, menghidupkan dapur, menggerakkan koperasi, menggaji pekerja, menambah belanja siswa, dan memperkuat sistem keuangan nasional. Tak ada subsidi yang lebih efektif dari ini.

Model seperti ini layak ditiru. Negara tidak perlu jadi pelaksana tunggal. Cukup jadi pemberi arah dan jaminan kebijakan. Biarkan BUMN seperti BRI mengambil peran dalam mengelola pembiayaan, mendampingi pelaku, dan menyusun sistem yang menguntungkan semua pihak. Kalau berhasil, bukan tidak mungkin program sosial lain—dari bantuan pangan hingga stunting—bisa dikembangkan dengan model serupa.

Yang menarik, semua ini dilakukan tanpa menciptakan lembaga baru. BRI hanya memanfaatkan sistem internalnya: cabang, mantri, sistem kredit, escrow, payroll, dan layanan digital. Tidak ada penambahan struktur, tidak ada proyek baru. Tapi dampaknya sistemik.

Kuncinya adalah memahami bahwa program seperti MBG bukan proyek konsumsi. Ia adalah proyek ekonomi. Dan selama lembaga keuangan bisa membaca pola itu, mereka akan selalu punya tempat di tengah program-program sosial negara. BRI membuktikan bahwa inklusi tidak perlu kampanye besar. Cukup peka, sigap, dan menyatu dalam gerak.

Jika ini berjalan konsisten, bukan mustahil angka tujuh triliun itu hanya permulaan. Saat jumlah SPPG naik menjadi 5.000 titik, angka itu akan tembus 28 triliun rupiah. Dan saat itu terjadi, siapa pun yang duduk di sektor keuangan tahu pasti: makan siang gratis bukan beban negara. Ia adalah mesin ekonomi desa. Dan BRI sudah lebih dulu menghidupkannya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *