Zoreen Muhammad
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) bukan sekadar janji politik yang menjadi branding pemerintah baru. Ia telah menjelma sebagai platform distribusi manfaat yang luas, dengan denyut ekonomi mikro yang berpotensi memperkuat struktur sosial bawah. Di titik inilah, kehadiran PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI menjadi lebih dari sekadar bank milik negara; ia menjelma sebagai jantung penggerak ekonomi lokal yang terintegrasi dengan misi besar negara.
Apa yang dilakukan BRI bukan hanya mendukung MBG lewat layanan keuangan biasa. Lebih dari itu, BRI melakukan penetrasi sistemik ke dalam ekosistem MBG dan menyulamnya menjadi pasar inklusif baru. Dari petani sayur, pengelola dapur, pengusaha koperasi desa, hingga guru dan kepala sekolah, semuanya disentuh dengan pendekatan finansial yang menyatu dengan keseharian mereka.
Menyentuh Hulu-Hilir Ekosistem MBG
Program MBG menuntut sistem logistik dan produksi yang kompleks. Di sinilah BRI masuk: membangun ekosistem pembiayaan yang tidak saja menyentuh pelaksana dapur (SPPG), tetapi juga para pemasok bahan baku, petani, kontraktor dapur, bahkan pihak sekolah dan tenaga kerja Non-ASN yang mengelola pengiriman makanan.
Alih-alih menawarkan pembiayaan sporadis, BRI menyusun strategi berbasis pemetaan. Melalui skema yang didesain khusus sejak awal 2025, setiap kantor wilayah dan cabang BRI diwajibkan menunjuk koordinator yang secara aktif melakukan akuisisi atas potensi ekonomi dari SPPG yang tersebar. Mereka tidak hanya ditugaskan menjual produk perbankan, tetapi melakukan “mapping” atas seluruh mata rantai ekonomi dalam program MBG—dari Bumdes, koperasi, yayasan penyedia bahan pangan, hingga dapur mandiri berbasis sewa.
Skema ini bukan pendekatan umum. Ini semacam gerakan bottom-up banking: menjadikan ekonomi rakyat kecil sebagai titik tumbuh, bukan sekadar objek kredit.
Kredit Dapur dan Escrow Berbasis Kontrak Negara
Inovasi paling menonjol yang ditawarkan BRI adalah skema pembiayaan dapur MBG. Tidak semua pelaku punya lahan sendiri untuk membangun dapur. Maka BRI menyediakan tiga jalur kredit investasi:
- Untuk pemilik lahan sendiri (dengan jaminan tanah dan bangunan),
- Untuk lahan sewa dengan jaminan bangunan dan peralatan,
- Dan untuk pemilik yang hanya bisa menjaminkan bangunan dapur saja.
Semua skema itu disesuaikan dengan logika bisnis program MBG. Misalnya, cicilan diatur sinkron dengan jadwal pembayaran imbal jasa dari pemerintah kepada pengelola dapur. Perjanjian sewa pun harus notariil, dan pembayaran dilakukan melalui rekening escrow BRI—menjamin transparansi sekaligus positioning BRI sebagai pusat arus keuangan program.
Artinya, BRI menyalurkan kredit bukan dengan logika retail biasa, tetapi dengan skema project finance berbasis negara. Ini pola baru dalam pembiayaan mikro-infrastruktur sosial.

Mendorong Onboarding Massal Koperasi dan UMKM Desa
Salah satu syarat penting dalam sistem pengadaan pemerintah (LKPP) adalah terdaftarnya entitas bisnis dalam sistem e-katalog atau pengadaan digital. Di sinilah peran BRI sangat strategis. Melalui tim pemasaran yang dilatih khusus, mereka mengedukasi koperasi, UMKM, dan yayasan mitra SPPG agar bisa onboarding ke LKPP, sekaligus membuka rekening penampungan transaksi di BRI.
Apa hasilnya? Terjadi financial inclusion masif di tingkat desa. Bukan hanya transaksi formal meningkat, tapi juga tumbuh kepercayaan pelaku lokal terhadap sistem keuangan. BRI tidak hanya memanen nasabah, tapi juga membangun kredibilitas sistem negara di akar rumput.
Lebih jauh, onboarding ini membuka jalan bagi koperasi lokal untuk ikut serta dalam pengadaan bahan makanan bagi MBG. Petani sayur mayur di desa tak lagi jadi pengamat dari pinggir lapangan, mereka kini bisa jadi pelaku utama dalam rantai pasok nasional.
Payroll, KPR, dan BRIMO untuk Pekerja Dapur
Inovasi tidak berhenti di kredit dapur atau koperasi. Pekerja SPPG, yang sebagian besar adalah Non-ASN, juga masuk dalam skema pembiayaan mikro BRI. Melalui pembukaan rekening payroll berbasis BRIMO, mereka mendapat akses pada produk keuangan seperti Briguna (kredit gaji), KPR subsidi, bahkan Kartu Kredit BRI.
Pendek kata, dari sisi BRI, program MBG adalah ladang inklusi yang memungkinkan ekspansi ke seluruh lini nasabah baru. Tapi dari sisi pekerja, ini adalah pengakuan bahwa pekerjaan mereka punya nilai yang diakui oleh sistem keuangan nasional.
Dengan Corporate ID PIS khusus (13492), BRI mempermudah integrasi layanan payroll dan pinjaman dalam satu platform digital. Ini mempercepat sirkulasi ekonomi sekaligus menciptakan kestabilan sosial di kalangan pekerja program MBG.
Digitalisasi Sekolah dan Aktivasi QRIS
Tak ketinggalan, pihak sekolah yang menerima distribusi makanan juga disentuh lewat layanan keuangan BRI. Pembukaan rekening giro untuk sekolah, payroll untuk guru dan karyawan, hingga aktivasi BRIVA dan QRIS dilakukan serempak. Sekolah tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi menjadi simpul dari ekosistem ekonomi MBG yang terhubung digital.
Dengan begitu, program MBG juga mempercepat digitalisasi transaksi di lembaga pendidikan dasar. Sebuah multiplier effect yang jarang diperhitungkan dalam analisis tradisional program pemerintah.
Dampak Struktural: Dari Subsidi ke Produktivitas
Apa yang kita saksikan dari kolaborasi BGN dan BRI bukan hanya penyelenggaraan makan siang anak sekolah. Ini adalah transformasi subsidi menjadi produktivitas. Dana publik yang disalurkan untuk MBG tak sekadar habis dalam wujud makanan, tetapi menciptakan ekosistem ekonomi baru yang hidup, produktif, dan terukur.
BRI sebagai aktor finansial utama menanamkan logika ekonomi ke dalam sistem sosial: kredit berbasis kontrak negara, escrow sebagai pengaman risiko, QRIS sebagai alat kontrol transaksi, dan koperasi sebagai simpul pelibatan rakyat. Ini model pembangunan partisipatif berbasis pasar yang justru dimungkinkan oleh kehadiran negara.
Dengan kata lain, negara hadir sebagai jaminan kredit, bukan sebagai pelaksana tunggal. BRI mengambil peran aktif sebagai katalis, dan masyarakat menjadi pengelola utama.
Peluang Besar: Ribuan Titik, Jutaan Potensi
Bayangkan bila program MBG menjangkau 100.000 sekolah dalam lima tahun ke depan, dan tiap SPPG melayani 3-5 sekolah. Maka akan terbentuk sekitar 20.000 titik dapur aktif, lengkap dengan pekerja, pemasok, koperasi, dan petani binaan. Bagi BRI, ini berarti:
- Ratusan ribu rekening payroll baru,
- Puluhan ribu pelaku koperasi yang on-boarding ke sistem formal,
- Ribuan kredit investasi dapur dengan jaminan bisnis,
- Dan transaksi digital yang meningkat eksponensial dari wilayah non-perkotaan.
Tak banyak program sosial yang bisa menciptakan efek ekonomi seperti ini. MBG—yang pada awalnya dibayangkan sebagai beban anggaran—justru membuka peluang fiskal baru lewat ekspansi pembiayaan dan sirkulasi uang berbasis konsumsi rakyat.
Dan semua itu bermula dari langkah strategis BRI menjadikan MBG sebagai ekosistem, bukan sekadar proyek.
Kolaborasi antara BRI dan BGN dalam mendukung MBG membuka cakrawala baru bagi desain kebijakan sosial di Indonesia. Di satu sisi, negara tetap hadir sebagai penyedia anggaran dan penjamin kebijakan. Di sisi lain, BRI mengembangkan fungsi pembiayaan berbasis ekosistem dengan logika yang sehat dan berkelanjutan.
Inilah saatnya kita membalik narasi lama tentang subsidi yang boros dan konsumtif. Dengan pola seperti MBG + BRI, subsidi bisa menjadi pintu masuk bagi produktivitas rakyat. Inklusi keuangan bertemu dengan intervensi sosial. Ekonomi rakyat kecil bertemu dengan sistem formal. Dan semua berjalan bukan dalam teori utopis, tetapi lewat produk kredit, QRIS, dan BRIMO yang nyata.
Mungkin ini yang dimaksud Bung Hatta dulu ketika ia membayangkan koperasi rakyat dipertemukan dengan lembaga keuangan modern yang berpihak: bukan dalam bentuk simposium, tetapi lewat sistem kerja yang saling menguntungkan dan merakyat.