Zoreen Muhammad
Piramida makanan—ikon panduan gizi paling terkenal di Amerika—selama puluhan tahun jadi acuan utama di sekolah, rumah sakit, bahkan label makanan. Tapi kalau piramida itu benar-benar berhasil, kenapa kita justru hidup di tengah krisis obesitas? Kenapa generasi yang tumbuh besar dengan piramida gizi justru lebih gemuk, lebih sakit, dan lebih tergantung pada obat-obatan?
Food Pyramid pertama kali diperkenalkan oleh USDA pada 1992. Sebuah segitiga besar dibagi menjadi enam bagian, dengan roti, nasi, dan pasta di dasar piramida—disarankan 6–11 porsi per hari. Di atasnya, sayuran dan buah-buahan. Lalu produk susu, daging, dan paling atas: lemak dan gula. Secara visual, seolah mengajarkan moderasi dan keseimbangan. Tapi kenyataannya, itu justru jadi resep kegagalan.
Mari kita mulai dari dasar: 6–11 porsi karbohidrat per hari. Untuk siapa angka ini dibuat? Atlet Olimpiade? Buruh tambang? Bukan. Ini ditujukan untuk semua orang Amerika, termasuk mereka yang kerja kantoran 9 jam duduk. Padahal konsumsi karbohidrat olahan seperti roti putih, sereal manis, dan pasta bukan cuma menyumbang lonjakan gula darah, tapi juga meningkatkan risiko resistensi insulin dan lemak perut.
Dan jangan lupakan siapa yang berada di balik layar penyusunan piramida ini. Dokumen Kongres dan laporan investigatif mengungkap bagaimana USDA berada dalam posisi aneh: harus membuat panduan nutrisi, tapi sekaligus mendukung penjualan hasil pertanian Amerika, termasuk jagung (untuk HFCS), gandum (roti dan pasta), dan susu. Akibatnya, piramida gizi jadi medan kompromi antara sains dan kepentingan dagang.
Sementara itu, studi ilmiah tentang efek negatif dari karbohidrat olahan dan gula terus bermunculan. Tapi panduan resmi lambat berubah. Bahkan setelah epidemi obesitas dan diabetes meledak pasca 1990-an, pembaruan piramida hanya bersifat kosmetik: menjadi “MyPlate”, tapi substansinya tetap mengambang.
Fakta lapangan menunjukkan jurang besar antara teori piramida dan praktik konsumsi harian masyarakat. Ketika roti putih dan sereal dikampanyekan sebagai pilihan sehat, masyarakat pun membanjiri sarapan mereka dengan makanan tinggi indeks glikemik. Ketika susu direkomendasikan tiga kali sehari, tak sedikit yang menganggap milkshake dan kopi manis sebagai bentuk “asupan susu”—padahal sarat dengan gula tambahan.
Lebih gila lagi, saat produk-produk makanan cepat saji mulai melabeli dirinya “mengikuti panduan piramida gizi”. McDonald’s menyediakan salad side menu (lalu ditenggelamkan dengan saus manis), cereal dipasarkan sebagai “sarapan bergizi” meski mengandung 40% gula, dan produsen granola bar mengklaim sebagai “snack sehat” hanya karena mengandung oats dan susu bubuk.
Semua ini tidak akan begitu berbahaya kalau masyarakat punya pemahaman gizi yang cukup. Tapi riset menunjukkan bahwa mayoritas orang dewasa Amerika bahkan tak bisa menjelaskan perbedaan antara karbohidrat sederhana dan kompleks. Mereka bingung kenapa berat badan naik padahal makan “rendah lemak”. Mereka tak sadar bahwa “0% fat” sering berarti “25% gula”.
Inilah celah yang dimanfaatkan industri makanan: mengemas produk dengan citra sehat padahal sebaliknya. Dan sayangnya, panduan resmi seperti piramida makanan tidak membantah praktik ini—justru memperkuatnya.
Bandingkan dengan negara seperti Brasil yang mengeluarkan panduan gizi berbasis prinsip alami: makan makanan utuh, hindari ultra-proses, dan masak sendiri bila bisa. Sementara Amerika sibuk menghitung porsi dan gram nutrisi yang bahkan ahli pun bingung memahaminya.
Lebih tragis lagi, Food Pyramid dan panduan turunannya malah digunakan dalam penyusunan menu program bantuan pangan negara. Sekolah-sekolah, rumah sakit, hingga dapur umum untuk warga miskin menggunakan kerangka ini untuk menentukan menu harian. Itu artinya, warga dengan status ekonomi rendah—yang paling membutuhkan gizi seimbang—justru mendapat makanan berbasis panduan yang usang dan bermasalah.
Efek jangka panjangnya terasa. Anak-anak sekolah makan siang dengan menu “seimbang” menurut piramida: roti, susu rasa cokelat, buah kalengan dalam sirup. Orang dewasa hidup dengan saran “makan lebih banyak gandum utuh” tapi tanpa memperhatikan cara pengolahannya. Lansia diberi rekomendasi “minum susu tiap hari” meski tak semua tubuhnya bisa mencerna laktosa.
Kegagalan piramida ini bukan hanya soal salah paham terhadap nutrisi, tapi juga mencerminkan kegagalan politik pangan. Bahwa ketika sains harus tunduk pada lobi industri, yang rugi adalah masyarakat luas. Bahwa ketika pemerintah memilih mendengar korporasi ketimbang riset independen, maka satu generasi bisa tumbuh dalam ilusi makan sehat padahal tidak.

Sebagai tanggapan, muncul berbagai panduan alternatif dari lembaga non-profit dan universitas. Harvard School of Public Health merilis “Healthy Eating Plate” yang secara terbuka mengkritik MyPlate pemerintah karena “ambigu dan dipengaruhi oleh politik”. Mereka menekankan sayuran segar, protein sehat (bukan sekadar daging), biji-bijian utuh, dan batas ketat konsumsi susu serta gula.
Namun semua panduan tandingan itu tidak punya megafon sebesar pemerintah. Mereka tidak muncul di kantin sekolah, tidak masuk dalam kontrak dapur umum, dan tidak jadi dasar label makanan massal. Maka meskipun secara sains lebih solid, mereka tenggelam oleh arus utama yang dikendalikan oleh industri.
Dalam dunia digital saat ini, masyarakat mulai mencari rujukan gizi sendiri—dari influencer, YouTube, podcast, dan buku populer. Tapi ini pun menimbulkan risiko: banyak informasi simpang siur, tren diet ekstrem, dan produk suplemen berbasis marketing ketimbang bukti ilmiah. Tanpa panduan resmi yang benar dan tepercaya, konsumen justru terombang-ambing antara janji “detox 7 hari” dan tren keto-karbohidrat 0%.
Solusinya bukan membuang semua panduan, tapi membenahinya dari akarnya. Panduan nutrisi seharusnya lahir dari riset independen, bukan konsensus politik. Ia harus sederhana tapi tidak menyederhanakan. Harus fleksibel tapi tidak mengaburkan. Dan yang paling penting, harus jujur tentang siapa yang diuntungkan dari setiap porsi yang disarankan.
Food Pyramid sudah runtuh. Tapi mentalitas yang membentuknya masih berdiri tegak: mentalitas kompromi antara sains dan uang. Kalau kita ingin generasi sehat, panduan nutrisi harus dibangun di atas integritas, bukan lobby. Dan mungkin, piramida gizi terbaik adalah yang kita bentuk sendiri—dengan akal sehat, data ilmiah, dan keberanian bertanya: “siapa yang sebenarnya mengatur isi piring kita?”