Ini Minuman Susu atau Gula Sih?

Zoreen Muhammad

Coba ambil satu kotak susu anak rasa stroberi dari rak minimarket. Baca komposisinya. Biasanya tertulis: air, susu bubuk, gula, perisa stroberi, penstabil, dan sederet bahan tambahan yang terdengar seperti berasal dari laboratorium kimia. Di bagian label gizi, perhatikan angka gula: 12–15 gram per kemasan kecil. Itu sama dengan tiga sampai empat sendok teh gula pasir. Dan itu baru satu kotak.

Kalau anak minum satu kotak setiap hari, artinya dalam seminggu ia bisa mengonsumsi lebih dari 80 gram gula hanya dari “susu”. Padahal, rekomendasi WHO untuk batas maksimal konsumsi gula tambahan bagi anak-anak adalah kurang dari 25 gram per hari—dan itu untuk semua makanan dan minuman, bukan hanya dari satu sumber.

Jadi pertanyaannya: ini minuman susu, atau minuman gula?

Gula tidak beracun. Tapi konsumsi berlebih, apalagi sejak dini, membuka pintu ke banyak masalah. Gula yang tidak digunakan tubuh akan disimpan jadi lemak. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan obesitas, resistensi insulin, diabetes tipe 2, gangguan metabolik, hingga masalah liver seperti fatty liver non-alkohol.

Dan tidak cuma masalah fisik. Konsumsi gula berlebih pada anak juga dikaitkan dengan hiperaktif, penurunan fokus belajar, hingga gangguan perilaku. Otak anak merespons gula seperti seseorang yang mendapat hadiah. Melepaskan dopamin. Menghasilkan rasa senang. Ini sebabnya anak jadi minta lagi, dan lagi.

Bahkan sejumlah studi menunjukkan bahwa konsumsi gula tinggi di usia dini bisa menurunkan sensitivitas terhadap rasa manis alami, artinya anak-anak akan semakin sulit menyukai makanan sehat yang hambar—seperti sayur, atau susu segar itu sendiri.

Yang lebih miris, banyak orang tua yang berpikir: “Daripada anak jajan sembarangan, mending minum susu kotak saja.” Ini niat baik yang salah arah. Karena tidak semua susu kotak itu sehat. Justru sebagian besar varian rasa dari produk susu siap minum mengandung lebih banyak gula daripada proteinnya sendiri.

Contoh? Produk A (kita samarkan) mengklaim sebagai susu UHT rasa cokelat untuk anak-anak, kaya kalsium dan vitamin. Dalam satu kemasan 180 ml, proteinnya hanya 3 gram, tapi gulanya mencapai 15 gram. Itu berarti, setiap satu gram protein “ditukar” dengan lima gram gula. Rasanya enak, manis, dan anak pasti suka. Tapi di balik itu, nilai gizinya mulai bias.

Apakah gula memang harus sebanyak itu? Tidak. Tapi tanpa gula, susu rekonstitusi dari bubuk itu akan hambar. Apalagi setelah ditambah stabilizer, perisa buatan, dan air. Untuk menyamarkan rasa “bukan susu”-nya, gula jadi senjata utama.

Mari kita lihat beberapa merek susu UHT populer di pasaran.

Milo kotak 110ml mengandung sekitar 10–12 gram gula, tapi kandungan susunya hanya sekitar 9% dari total bahan. Sisanya? Air, bubuk malt, pemanis, dan perisa cokelat. Rasanya enak? Tentu. Tapi apakah ini “susu” yang dimaksud nenek kita zaman dulu? Jelas beda jauh.

Frisian Flag Purefarm Cokelat 225ml punya 23 gram gula dalam satu kemasan. Itu hampir setara dengan 6 sendok teh gula. Apakah anak tahu itu? Tidak. Yang mereka tahu hanya satu: rasanya enak dan bikin nagih.

Cimory UHT Chocolate 250ml tercatat mengandung 18 gram gula. Kandungan proteinnya 8 gram—cukup bagus. Tapi perbandingannya tetap memperlihatkan satu hal: setiap dua teguk susu, ada satu sendok gula yang ikut masuk ke tubuh.

Ultra Milk Stroberi 250ml memiliki sekitar 22 gram gula. Hampir tidak ada varian rasa dari susu ini yang memiliki kandungan gula di bawah 15 gram per kemasan. Dan itu belum termasuk tambahan dari kue, permen, atau teh manis yang dikonsumsi di hari yang sama.

Ilustrasi ragam permen di sebuah tempat di Brazil (unsplash)

Kalau semua merek berlomba membuat “susu” yang manis-manis, siapa yang diuntungkan? Jelas bukan tubuh kita, apalagi anak-anak. Tapi pasar besar yang tak pernah tidur, karena konsumennya terus beli.

Satu hal yang sering tidak disadari: selera makan itu bisa dibentuk. Anak yang terbiasa makanan dan minuman manis akan lebih sulit menerima rasa alami dari makanan sehat. Ketika susu segar terasa “nggak enak” di lidah mereka, bukan karena susunya salah, tapi karena mereka sudah dibiasakan dengan rasa buatan yang jauh dari susu asli.

Dan ini efek jangka panjang. Anak yang minum susu kotak manis setiap hari akan tumbuh jadi remaja yang sulit lepas dari minuman kemasan. Bukan karena mereka bodoh, tapi karena dari kecil otaknya sudah diprogram untuk mencari rasa manis.

Pola ini persis seperti pola ketergantungan ringan—tanpa sadar, dan sangat susah diubah. Sama seperti orang dewasa yang butuh kopi manis, bukan karena suka kopi, tapi karena terbiasa dengan rasa gula di dalamnya.

Tidak semua susu kemasan buruk. Beberapa merek seperti Greenfields, KIN A2, atau Ultra Milk Full Cream punya varian tanpa gula tambahan, dengan protein mendekati standar susu segar (3,2 gram per 100 ml). Tapi masalahnya, varian itu tidak selalu dipajang di depan rak minimarket. Yang ditaruh di depan, yang ditata rapi, dan sering promo—ya yang manis-manis itu.

Di sinilah peran orang tua jadi kunci. Bacalah label. Bandingkan protein dengan gula. Jika gulanya dua kali lipat dari proteinnya, itu sinyal bahaya. Kalau susu rasa cokelatnya terlalu harum dan manis, kemungkinan besar ada banyak yang “dibungkus” di balik sensasi rasa itu.

Dan jangan cepat percaya label “cocok untuk anak-anak” atau “kaya vitamin”. Anda bisa minum air gula lalu menambahkan vitamin sintetis dan tetap menyebutnya “minuman sehat”—secara teknis mungkin iya, tapi secara gizi jelas tidak.

Harusnya, di negara seperti Indonesia yang tengah berjuang menurunkan angka stunting, diabetes, dan obesitas anak, ada regulasi lebih ketat soal ini. Misalnya, kewajiban mencantumkan:

  • Persentase kandungan susu segar asli
  • Jumlah gula tambahan, bukan total gula
  • Peringatan jika gula melebihi batas aman untuk anak

Sayangnya, belum ada aturan seperti itu. Yang ada baru klaim gizi makro yang legal, tapi membingungkan bagi orang awam. Produsen diizinkan bermain kata: “mengandung susu”, “mengandung kalsium”, padahal susunya hanya dari bubuk dan kadar gulanya menggila.

Jadi siapa yang dirugikan? Anak-anak. Mereka minum sesuatu yang dikira sehat, tapi sebenarnya pelan-pelan sedang mengkonsumsi sesuatu yang kalau dibuka secara jujur labelnya akan berbunyi: “air gula rasa susu dengan tambahan nutrisi.”

Tulisan ini bukan ingin melarang Anda beli susu kotak rasa cokelat. Bukan juga mau menuduh merek tertentu. Tapi kalau kita betul-betul peduli pada gizi anak-anak, dan tidak ingin generasi kita besar dengan tubuh gemuk tapi gizi tipis, maka satu hal sederhana bisa dimulai sekarang:

Baca label. Pilih yang proteinnya tinggi dan gulanya rendah. Jangan terkecoh gambar lucu di depan kemasan.

Dan sesekali, cobalah ajak anak minum susu murni tanpa rasa. Mungkin awalnya mereka akan ogah. Tapi jika dilakukan pelan-pelan, bisa jadi itulah hadiah terbaik yang bisa Anda wariskan: lidah yang sehat, dan selera yang sadar.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *